BERITA TERBARU HARI INI – UNICEF Peringatkan Potensi Ledakan Anak Palestina Mati Kelaparan di Gaza, Respons Global?. Potret Yazan al-Kafarneh dengan tubuh tinggal tulang belulang marak beredar di dunia maya dalam beberapa hari terakhir. Fenomena itu menyoroti realitas kelaparan dan kekurangan gizi anak-anak Palestina, yang disebabkan blokade Israel atas Jalur Gaza.
Yazan al-Kafarneh sendiri sudah meninggal pada Senin, 4 Maret 2024, di usia 10 tahun setelah sempat mendapat perawatan medis di Rumah Sakit Abu Yusuf al-Najjar di Rafah, Gaza Selatan.
“Saya kehilangan anak saya hari ini setelah 10 hari dirawat di rumah sakit karena kekurangan gizi,” tutur ibunya kepada kantor berita Anadolu, seperti dilansir Sabtu (8/3), disertai air mata mengalir di pipinya.
“Kesehatan putra saya memburuk dengan cepat dan berat badannya turun hingga tinggal tulang.”
Menurut keluarga, Yazan berada pada titik di mana dia butuh makanan dan nutrisi khusus agar tetap hidup setelah kehilangan banyak berat badan. Tentu, sang ibu tidak pernah membayangkan akan melihat anaknya mati kelaparan dalam dekapannya.
“Anak saya sekarang sudah di surga, tapi tidak pernah terbayangkan kami akan berada pada tahap ini,” ujar perempuan itu, yang bersama keluarganya mengungsi dari Beit Hanoun di Gaza Utara.
“Pesan saya kepada dunia adalah perhatikan anak-anak di Gaza dan lihatlah bagaimana kehidupan mereka berubah.”
Dalam salah satu video yang beredar, ayah Yazan yang bernama Ahsraf memperlihatkan foto putranya yang sehat sebelum Israel meluluhlantakkan Jalur Gaza.
“Semoga perang segera berakhir agar anak-anak kami bisa makan dan menjalani hidup dengan sehat,” kata ayah Yazan.
Melansir TRT World, kepala departemen pediatrik di Rumah Sakit Abu Yusuf al-Najjar Dr Jabir Al Shaar mengatakan Yazan menderita kelumpuhan otak (cerebral palsy) dan bergantung pada pola makan khusus seperti buah-buahan dan susu, yang tidak tersedia lagi di Jalur Gaza.
Dokter mengaitkan kematian Yazan dengan kekurangan gizi akut.
Kisah lain datang dari Anwar Abdul Nabi dan putrinya Mila. Bocah perempuan usia tiga tahun itu juga mati kelaparan pada Senin, 4 Maret.
“Putri saya meninggal karena kekurangan kalsium, potasium, dan oksigen,” terang Anwar Abdul Nabi kepada CNN di Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza Utara, sembari menangis. “Tiba-tiba, semuanya menurun karena dia tidak makan apa pun yang mengandung zat besi atau telur. Dia biasanya makan telur setiap hari sebelum perang. Sekarang tidak ada apa-apa. Dia pun meninggal.”
Badan PBB untuk Urusan Anak (UNICEF) pada Selasa (5/3) memperingatkan soal ledakan jumlah kematian anak yang akan segera terjadi di Jalur Gaza akibat kekurangan gizi. UNICEF menggarisbawahi tingkat kekurangan gizi pada anak-anak di Gaza Utara tiga kali lebih tinggi dibanding yang tercatat di Gaza Selatan.
“Kami melihat kematian (terkait kelaparan) akan terus meningkat. Kita akan melihat ledakan (angka) kematian anak dalam waktu dekat jika krisis gizi yang memburuk tidak teratasi,” ujar juru bicara UNICEF James Elder seperti dikutip dari Middle East Monitor.
“Selain kelaparan, ada peningkatan risiko penyebaran penyakit menular karena sembilan dari setiap 10 anak di bawah usia lima tahun -sekitar 220.000- jatuh sakit selama beberapa pekan terakhir.”
Sebelumnya, pada Senin, Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menuturkan warga sipil, terutama anak-anak dan petugas kesehatan di Jalur Gaza, membutuhkan bantuan segera. Dia menekankan pada tingkat malanutrisi parah dan anak-anak yang sekarat karena kelaparan di Gaza Utara.
Kesaksian Tim PBB
Otoritas kesehatan Gaza seperti dilansir NBC News mengatakan pada Rabu (6/3), setidaknya 20 orang telah meninggal karena kekurangan gizi di rumah sakit. Mereka sendiri yakin ada puluhan lainnya yang meninggal dengan sebab yang sama, namun tidak terdata karena tidak mampu mengakses fasilitas medis.
WHO mengunjungi Jalur Gaza pada akhir pekan lalu. Kemudian Koordinator Kemanusiaan PBB untuk Wilayah Pendudukan Palestina Jamie McGoldrick pada Rabu menggambarkan kelaparan di sana telah mencapai level bencana.
“Anak-anak sekarat karena kelaparan,” ujar McGoldrick dikutip dari situs web PBB, yang turut mengonfirmasi kematian 20 anak, termasuk seorang bayi berusia 14 hari.
Selama kunjungan ke kamp Misq dan Layan di Al Mawasi, Gaza Selatan, McGoldrick menuturkan pengungsi perempuan menyampaikan dampak perang dan besarnya kebutuhan mereka, yang mencakup privasi, keamanan, kebersihan, dan ketidakmampuan untuk mempersiapkan Ramadan.
Seorang perempuan mengisahkan kepada McGoldrick bahwa dia bersama anak-anaknya, yang salah satunya penyandang disabilitas, terpaksa pindah ke kamp dua hari setelah dia melahirkan. Perempuan tersebut lantas mengaku dia tidak dapat menyusui bayinya yang baru lahir karena kekurangan makanan.
“Pada malam hari, saat berjalan melewati kamp-kamp Anda dapat mendengar tangisan para perempuan,” kata McGoldrick.
Laporan lebih rinci mengenai kelaparan diperkirakan akan dirilis dalam beberapa pekan mendatang, namun McGoldrick menyatakan sepertinya itu akan mengonfirmasi apa yang telah diketahui secara luas: kelaparan meningkat pesat.
Meski pengiriman bantuan melalui udara seperti yang dilakukan Yordania, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Amerika Serikat (AS) membantu, namun PBB menilai penyaluran via darat tetap menjadi cara paling efektif.
Satu truk dilaporkan dapat mengirimkan antara 20-30 metrik ton bantuan, sekitar 10 kali lipat dari jumlah yang dapat diangkut satu pesawat. Mesir sendiri melalui Rafah adalah pintu masuk utama bantuan via darat ke Jalur Gaza.
Warga Gaza: Kami Seperti Anjing
Pada Selasa, Uni Emirat Arab dan Mesir mengirimkan 42 ton pasokan medis dan makanan via udara. Militer AS mengatakan, bersama dengan Angkatan Udara Kerajaan Yordania, pihaknya mengirimkan lebih dari 36.800 makanan ke Gaza Utara pada yang sama.
Kelompok hak asasi manusia mengkritik pemberian bantuan via udara. Mereka menilai cara itu tidak hanya tidak efisien, namun juga merendahkan martabat warga Jalur Gaza.
CEO LSM yang berbasis di Inggris, Medical Aid for Palestines, Melanie Ward mendesak Israel untuk segera membuka semua penyeberangan ke Jalur Gaza bagi pekerja bantuan.
“Hanya akses yang aman dan tidak terbatas bagi bantuan dan pekerja bantuan, pencabutan blokade, dan gencatan senjata segera dapat mengakhiri kelaparan di Gaza,” kata Melanie seperti dikutip dari CNN.
Pada Kamis (29/2) sesaat sebelum tengah malam, setidaknya 118 orang tewas dibantai Israel saat mereka mencoba mengakses bantuan makanan di Bundaran Kuwait di Jalan Rasheed, Kota Gaza. Para pejabat kesehatan Palestina mengatakan pasukan Israel menggunakan peluru tajam terhadap warga sipil Palestina yang kelaparan dan putus asa berkumpul di sekitar truk pengangkut bantuan makanan.
Duta besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour menyebut insiden tersebut sebagai pembantaian keji.
Militer Israel mengklaim pihaknya pertama kali melepaskan tembakan peringatan untuk mengendalikan massa, sebelum menembaki “penjarah” yang datang ke arah mereka. Sebagian besar korban tewas, sebut Israel, akibat tertabrak ketika pengemudi truk bantuan berusaha melarikan diri dari baku tembak dan kekacauan.
Faraj Abu Naji, yang saudara perempuannya melahirkan anak perempuan kembar sepekan lalu, hanya berhasil mendapatkan tiga kotak susu untuk keponakannya yang baru lahir.
“Kami bersyukur ada bantuan kemanusiaan yang dijatuhkan dari pesawat Yordania dan Uni Emirat Arab,” kata Faraj pada Selasa. “Saya berusaha semaksimal mungkin mendapatkan susu dari pesawat yang menjatuhkan bantuan agar kami bisa menyediakan susu bagi keponakan saya sebanyak mungkin.”
“Pesawat-pesawat itu menjatuhkan bantuan ke Gaza Utara dan kami menjadi seperti anjing yang mengejar tulang.”
Upaya Kolektif Mengirim Bantuan ke Gaza via Laut
Upaya untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan ke Gaza Utara mendapatkan momentum pada Rabu ketika Uni Eropa meningkatkan tekanan atas pembuatan jalur laut dari Siprus ke Jalur Gaza dan Menteri Luar Negeri (Menlu) Inggris David Cameron mengatakan bahwa sekutu Israel sudah kehilangan kesabaran.
Meskipun kelompok-kelompok bantuan menyebutkan seluruh Jalur Gaza terperosok dalam krisis kemanusiaan, situasi di wilayah Gaza Utara yang sebagian besar terisolasi merupakan hal yang menonjol. Banyak dari sekitar 300.000 orang yang masih tinggal di sana terpaksa hanya mengonsumsi pakan ternak untuk bertahan hidup. Bahkan, PBB mengatakan satu dari enam anak di bawah usia dua tahun di wilayah Gaza Utara menderita kekurangan gizi akut.
Di tengah tekanan global untuk meringankan krisis ini, dua pejabat Israel mengaku pada Rabu pemerintahnya akan mulai mengizinkan bantuan bergerak langsung dari wilayahnya ke Gaza Utara dan juga akan bekerja sama dengan pembuatan jalur laut dari Siprus.
“Israel akan mengizinkan 20 hingga 30 truk bantuan memasuki Gaza Utara dari Israel pada Jumat (8/3), awal dari pengiriman yang lebih teratur melalui rute tersebut,” klaim salah satu pejabat, seperti dikutip dari AP.
Para pejabat tersebut berbicara tanpa menyebut nama karena mereka tidak berwenang membahas pengiriman yang akan datang dengan media.
Kelompok-kelompok bantuan sebelumnya mengungkapkan hampir tidak mungkin mengirimkan pasokan ke sebagian besar Jalur Gaza karena sulitnya berkoordinasi dengan militer Israel, pertempuran yang sedang berlangsung, dan terganggunya ketertiban umum.
Jelas, kondisinya lebih sulit bagi Gaza Utara. Truk-truk yang membawa bantuan kemanusiaan harus berangkat dari perbatasan Rafah dengan Mesir atau perbatasan Kerem Shalom dengan Israel, melalui zona konflik untuk mencapai daerah-daerah yang sebagian besar terputus di utara.
“Kami masih belum melihat adanya perbaikan di lapangan. Ini harus diubah,” tulis Menlu Cameron di platform X alias Twitter.
Sementara itu, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengunjungi Siprus pada Jumat untuk memeriksa instalasi di pelabuhan di Larnaca, tempat bantuan akan dikirim ke Jalur Gaza via laut.
“Koridor (laut) hampir dibuka, mudah-mudahan pada Sabtu-Minggu ini dan saya sangat senang melihat operasi percontohan awal akan diluncurkan,” ungkap von der Leyen di Larnaca seperti dilansir Reuters.
Komunike bersama yang ditandatangani oleh Uni Eropa, AS, Inggris, Uni Emirat Arab, dan sejumlah negara Eropa menyatakan, “Pengiriman bantuan kemanusiaan langsung ke Gaza melalui laut akan menjadi hal yang rumit dan kita akan terus menilai dan menyesuaikan upaya kita untuk memastikan penyaluran bantuan seefektif mungkin.”
“Koridor maritim ini dapat – dan harus – menjadi bagian dari upaya berkelanjutan untuk meningkatkan aliran bantuan kemanusiaan dan komoditas komersial ke Gaza melalui semua rute yang memungkinkan. Kami akan terus bekerja sama dengan Israel untuk memperluas pengiriman melalui darat dan bersikeras bahwa mereka akan memfasilitasi lebih banyak pengiriman melalui jalur darat dan membuka penyeberangan tambahan untuk memberikan lebih banyak bantuan kepada lebih banyak orang.”
Siprus adalah negara anggota Uni Eropa yang paling dekat dengan Jalur Gaza, sekitar 370 km jauhnya. Mereka telah melobi selama berbulan-bulan untuk meluncurkan koridor tersebut, namun menghadapi tantangan mulai dari kurangnya infrastruktur pelabuhan di Jalur Gaza hingga masalah keamanan.
“Koridor maritim dapat membuat perbedaan nyata … namun, secara paralel, upaya kami untuk memberikan bantuan kepada warga Palestina melalui semua jalur yang memungkinkan tentu saja akan terus berlanjut,” tegas Von der Leyen.
Negara-negara anggota Uni Eropa, Uni Emirat Arab, AS, dan mitra lainnya bekerja sama dalam proyek ini, kata Von der Leyen, seraya menyinggung spesifik komitmen Presiden Siprus Nikos Christodoulides dan Presiden Uni Emirat Arab Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan.
“Sebagai anggota Uni Eropa yang berada di jantung kawasan, Siprus mempunyai kewajiban moral untuk melakukan yang terbaik … memanfaatkan peran dan hubungan baik dengan semua negara di kawasan,” tutur Presiden Christodoulides.
Berdasarkan pengaturan tersebut, kargo akan menjalani pemeriksaan keamanan di Siprus, oleh tim yang mencakup pihak Israel.
Siprus telah melakukan uji coba screening di Larnaca pada Januari, ketika bantuan Inggris dan Siprus untuk Jalur Gaza dikirim via Mesir.
Dalam upaya terpisah, Afrika Selatan, yang mengajukan kasus genosida terhadap Israel di Mahkamah Internasional, pada Rabu meminta pengadilan memerintahkan Israel mengizinkan bantuan untuk mengatasi kelaparan di Jalur Gaza.
Belum Ada Titik Temu
Perang Hamas Vs Israel di Jalur Gaza yang tengah berlangsung saat ini, dimulai pada 7 Oktober 2023, di mana sejumlah kelompok militan Palestina yang dipimpin Hamas menyerang Israel selatan.
Mengutip laporan Al Jazeera, Hamas menyatakan serangan yang direncanakan menargetkan militer dan warga Israel yang memiliki senjata itu merupakan langkah yang perlu dan respons normal atas semua kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina. Setidaknya 1.139 orang tewas dalam serangan, yang dijuluki Operasi Banjir Al-Aqsa, itu sementara sekitar 240 orang lainnya ditawan.
Dengan menargetkan situs militer dan menyandera pasukan Israel, Hamas berharap dapat menekan Tel Aviv untuk membebaskan ribuan warga Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel. Namun, mereka mengakui kemungkinan terjadi beberapa kesalahan pada hari itu.
“Jika ada kasus menargetkan warga sipil, itu terjadi secara tidak sengaja dan selama konfrontasi dengan pasukan pendudukan (Israel),” sebut laporan Hamas sebanyak 16 halaman yang bertajuk ‘Narasi Kami’.
Kemungkinan sejumlah kesalahan terjadi selama serangan, ungkap laporan Hamas, mengingat sistem keamanan dan militer Israel runtuh dengan cepat dan kekacauan yang menyertainya.
“Banyak warga Israel dibunuh oleh tentara dan polisi Israel karena kebingungan mereka sendiri,” ungkap laporan Hamas.
Israel lantas merespons serangan tersebut dengan pengeboman dahsyat dan tidak pandang bulu, yang hingga hari ini menurut otoritas kesehatan Jalur Gaza telah menewaskan setidaknya 30.800 orang.
Adapun lebih dari 100 orang sandera sejauh ini telah dibebaskan dalam gencatan senjata selama sepekan pada November.
Upaya terbaru untuk merundingkan gencatan senjata yang ditargetkan dapat dimulai sebelum bulan suci Ramadan, sejauh ini belum membuahkan hasil menyusul perbedaan prinsip. Israel hanya menginginkan jeda yang memungkinkan pembebasan sandera, sementara Hamas mengincar gencatan senjata permanen serta penarikan pasukan Israel dari Jalur Gaza.